Home
/
Film

Anggota DPR Minta Sinetron Azab Lebih Punya Nilai Seni dan Berkelas

Anggota DPR Minta Sinetron Azab Lebih Punya Nilai Seni dan Berkelas
Yudhistira Amran Saleh22 October 2018
Bagikan :

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah melayangkan surat teguran untuk stasiun televisi yang menayangkan sinetron ‘Azab’ dan ‘Dzolim'. KPI melayangkan surat itu kepada stasiun televisi Indosiar dan MNC TV.

Menurut anggota DPR RI dari Komisi VIII Fraksi Partai Gerindra, Sodik Mudjahid, sebenarnya sinetron 'Azab' dan 'Dzolim' tidak ada masalah. Namun ia meminta agar kemasannya lebih berkelas dan menonjolkan karya seni.

"Tidak apa-apa mereka Azab. Tapi lebih beradab, lebih berkelas, lebih berseni dalam mereka bentuk azab tersebut," kata Sodik Mudjahid kepada kumparan, Minggu (21/10).

"Film harus edukatif, normatif, estetis etis, dan juga logis sesuai perkembangan IPTEK dan perdaban umat manusia," lanjut dia.

Preview

Sodik berharap, sinetron 'Azab' dan 'Dzolim' bukan hanya sekadar tontonan bagi masyarakat. Akan tetapi ada tuntunan dan makna dalam film tersebut.

"Harus seimbang. Nilai-nilai, norma-norma sebagai misi edukasi konten dalam film 'Azab' juga dikemas dengan prinsip tersebut," ucap Sodik Mudjahid.

Karena apabila dua hal itu tidak ada maka bisa dibilang sinetron tersebut ketinggalan zaman. 

"Bahkan dinilai melanggar norma sehingga ditegur KPI," bebernya.

Preview

Sodik paham sinetron 'Azab' dan 'Dzolim' bertujuan untuk menyampaikan nilai dan norma agama sebagai edukasi. Tidak ada yang salah dengan sinetron tersebut menurut Sodik.

"Tapi kemasannya membuat konten norma dan misi edukasi dinilai tidak baik sehingga ditegur KPI," tutur Sodik.

KPI sejak 25 Juli 2018 sudah melayangkan surat teguran ke pihak Indosiar. Dalam surat tersebut tertulis tayangan tersebut tidak memperhatikan ketentuan tentang perlindungan anak-anak dan remaja.

Menurut Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran Dewi Setyarini, kekhawatirannya terhadap penayangan sinetron ini karena tidak menunjukkan norma dan etika yang tepat. 

“Karena kurang logis terus kemudian kurang etis, jauh dari norma dan etika. Sebenarnya di titik itu sih cukup tidak punya etika gitulah,” jelas Dewi Setyarini.

populerRelated Article